Kenali Gejala Awal Anak Autis
8:36:00 pm Posted In kesehatan , psycholog Edit This 0 Comments »Dilihat dari Kontak Mata, Tak Terlihat Secara Fisik
Jumat, 2 April kemarin, merupakan Hari Peduli Autisme Sedunia. Penderita autis semakin hari semakin banyak teridentifikasi di sekitar kita. Sayangnya, belum semua orangtua menyadari bahkan lebih senang menutup pergaulan anaknya lantaran malu.
AUTIS adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan bahasa, perilaku, komunikasi, emosi dan interaksi sosial. Yulia, seorang terapis autis di Pelita Bunda, Terapi Center Jl Markisa No 58, Voorfo, Samarinda Ulu mengatakan, setiap anak penderita autis, memiliki kasus yang berbeda-beda.
Tingkah laku anak autis pun beragam. Ada yang berteriak, super aktif berlari-lari, menangis hingga tidur. "Ada anak yang hiperaktif tetapi ada anak yang hanya diam karena terlambat berbicara. Namun, secara intelektual kemampuan anak autis adalah normal," ungkapnya.
Lulusan sarjana Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Surabaya ini memaparkan, gejala autis bisa dilihat dari anak usia 3 bulan. Salah satunya, bisa dilihat dari kontak mata anak, apakah anak tersebut melihat atau tidak.
"Karena itu, orangtua jangan senang dulu apabila anaknya pendiam dan cenderung tidak merespon apa yang kita berikan. Orangtua jangan bangga saat dibawa ke mal anaknya cuma diam dan tidak rewel. Bisa jadi itu adalah tanda-tanda anak autis," katanya.
Menurut Yulia, dari segi fisik, anak autis tak berbeda dengan anak normal pada umumnya. Namun dari segi prilaku mereka memang berbeda. Cenderung hiperaktif atau bahkan hanya diam. Wanita berjilbab ini tidak memungkiri komunikasi menjadi kendala utama anak-anak autis.
"Mereka memang sulit diajak berkomunikasi, kita harus menggunakan bahasa 'robot'," tambah Yulia.
Yang dimaksud Yulia, bahasa robot adalah komunikasi yang tegas. Anak-anak autis cenderung bingung apabila menggunakan bahasa yang sulit dimengerti. "Apabila tidak, katakan 'tidak'. Jangan bertele-tele, karena anak-anak autis akan bingung. Karena itu, orangtua harus bekerjasama dengan tempat terapi mengenai bahasa. Komunikasi bahasa di rumah dan diterapi harus sama," kata Yulia.
Sementara itu, Farah Flamboyan ST, Kepala Pelita Bunda mengatakan, bahwa jumlah anak autis binaannya semakin bertambah. Ia pun berpesan kepada orangtua yang memiliki anak autis agar tidak putus asa dan terus berjuang untuk anaknya. Bukan untuk kesembuhan tetapi untuk kemandirian.
"Binaan kami di Pelita Bunda saat ini sudah mencapai 34 anak. Mulai usia 2 sampai 12 tahun," jelas Farah.
Menurut Farah, setiap anak memilih hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Begitu halnya dengan anak-anak luar biasa, salah satunya penderita autis. Sayangnya, saat ini pendidikan untuk anak autis masih cukup mahal. "Anak-anak autis tidak mengenal ras, agama atau golongan. Semua anak dari kalangan manapun bisa terkena autis," kata Farah.
Biaya per anak mulai dari Rp600 ribu, termasuk terapi dan biaya sekolah. Tidak heran, Farah mengharapkan perhatian dari pemerintah untuk membantu anak-anak penderita autis. Sejauh ini, Pelita Bunda hanya memberikan subsidi bagi yang tidak mampu.
"Sampai saat ini, kami belum bisa menggratiskan. Hanya memberikan subsidi. Itu pun masih daftar tunggu. Karena pendidikan kami masih mandiri dan independen. Mengapa biaya pendidikan anak-anak autis cukup mahal. Jika di sekolah umum, satu guru bisa mengajar 30-40 siswa, tetapi di kelas kami dua guru mengajar satu anak. Ibaratnya, satu anak menanggung gaji dua guru," ungkap Farah.
Bahkan yang menjadi kendala saat ini adalah SDM guru serta kesejahteraannya. Menurut Farah, anak-anak yang datang membawa permasalahan yang berbeda-beda. Karena itu penanganannya pun berbeda-beda. Satu anak, bisa ditangani hingga dua orang yaitu satu terapis dan dua pengajar. Farah mengatakan menjaga dan merawat anak-anak penderita autis, memang perlu pelayanan khusus.
"Anak-anak yang datang pada kami dari berbagai latar belakang, tak hanya dari menengah atas. Tetapi ada juga dari menengah bawah," jelas Farah.
Itu baru dari segi pendidikan, belum dari sisi makanan. Farah memaparkan, pihaknya harus menjaga setiap makanan yang masuk ke mulut anak autis. Karena, ternyata sangat berpengaruh. Anak autis tidak boleh makan makanan yang mengandung pengawet, pewarna dan perasa.
"Kalau di sekolah kami ada yang mengamuk atau menangis, biasanya kami akan tanya kepada orangtuanya, apa yang mereka makan di rumah. Biasanya, anak autis yang makan makanan berpengawet atau sejenisnya, pasti akan berpengaruh pada perilaku mereka," papar Farah.
Sementara itu, yang menjadi kendala lainnya tak semua sekolah mau menerima anak-anak autis. Sehingga mereka merasa dikucilkan. "Selama ini, kita baru bekerjasama dengan SDN 016 Cendana. Sekolah ini mau menerima anak-anak lulusan kami," katanya.
Menurut wanita yang mengenakan jilbab ini, yang terpenting tidak hanya pendidikan di sekolah tetapi di rumah. Karena, anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah.
"Dari 24 jam sehari, waktu maksimal terapi anak bersama guru di sekolah itu hanya 4 jam. Sementara 20 jam waktu anak bersama orangtua. Karena itu, orangtua dan guru harus satu kata, agar memudahkan komunikasi dengan anak," jelas Farah. (mici suningsih -www.sapos.co.id)
Jumat, 2 April kemarin, merupakan Hari Peduli Autisme Sedunia. Penderita autis semakin hari semakin banyak teridentifikasi di sekitar kita. Sayangnya, belum semua orangtua menyadari bahkan lebih senang menutup pergaulan anaknya lantaran malu.
AUTIS adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan bahasa, perilaku, komunikasi, emosi dan interaksi sosial. Yulia, seorang terapis autis di Pelita Bunda, Terapi Center Jl Markisa No 58, Voorfo, Samarinda Ulu mengatakan, setiap anak penderita autis, memiliki kasus yang berbeda-beda.
Tingkah laku anak autis pun beragam. Ada yang berteriak, super aktif berlari-lari, menangis hingga tidur. "Ada anak yang hiperaktif tetapi ada anak yang hanya diam karena terlambat berbicara. Namun, secara intelektual kemampuan anak autis adalah normal," ungkapnya.
Lulusan sarjana Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Surabaya ini memaparkan, gejala autis bisa dilihat dari anak usia 3 bulan. Salah satunya, bisa dilihat dari kontak mata anak, apakah anak tersebut melihat atau tidak.
"Karena itu, orangtua jangan senang dulu apabila anaknya pendiam dan cenderung tidak merespon apa yang kita berikan. Orangtua jangan bangga saat dibawa ke mal anaknya cuma diam dan tidak rewel. Bisa jadi itu adalah tanda-tanda anak autis," katanya.
Menurut Yulia, dari segi fisik, anak autis tak berbeda dengan anak normal pada umumnya. Namun dari segi prilaku mereka memang berbeda. Cenderung hiperaktif atau bahkan hanya diam. Wanita berjilbab ini tidak memungkiri komunikasi menjadi kendala utama anak-anak autis.
"Mereka memang sulit diajak berkomunikasi, kita harus menggunakan bahasa 'robot'," tambah Yulia.
Yang dimaksud Yulia, bahasa robot adalah komunikasi yang tegas. Anak-anak autis cenderung bingung apabila menggunakan bahasa yang sulit dimengerti. "Apabila tidak, katakan 'tidak'. Jangan bertele-tele, karena anak-anak autis akan bingung. Karena itu, orangtua harus bekerjasama dengan tempat terapi mengenai bahasa. Komunikasi bahasa di rumah dan diterapi harus sama," kata Yulia.
Sementara itu, Farah Flamboyan ST, Kepala Pelita Bunda mengatakan, bahwa jumlah anak autis binaannya semakin bertambah. Ia pun berpesan kepada orangtua yang memiliki anak autis agar tidak putus asa dan terus berjuang untuk anaknya. Bukan untuk kesembuhan tetapi untuk kemandirian.
"Binaan kami di Pelita Bunda saat ini sudah mencapai 34 anak. Mulai usia 2 sampai 12 tahun," jelas Farah.
Menurut Farah, setiap anak memilih hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Begitu halnya dengan anak-anak luar biasa, salah satunya penderita autis. Sayangnya, saat ini pendidikan untuk anak autis masih cukup mahal. "Anak-anak autis tidak mengenal ras, agama atau golongan. Semua anak dari kalangan manapun bisa terkena autis," kata Farah.
Biaya per anak mulai dari Rp600 ribu, termasuk terapi dan biaya sekolah. Tidak heran, Farah mengharapkan perhatian dari pemerintah untuk membantu anak-anak penderita autis. Sejauh ini, Pelita Bunda hanya memberikan subsidi bagi yang tidak mampu.
"Sampai saat ini, kami belum bisa menggratiskan. Hanya memberikan subsidi. Itu pun masih daftar tunggu. Karena pendidikan kami masih mandiri dan independen. Mengapa biaya pendidikan anak-anak autis cukup mahal. Jika di sekolah umum, satu guru bisa mengajar 30-40 siswa, tetapi di kelas kami dua guru mengajar satu anak. Ibaratnya, satu anak menanggung gaji dua guru," ungkap Farah.
Bahkan yang menjadi kendala saat ini adalah SDM guru serta kesejahteraannya. Menurut Farah, anak-anak yang datang membawa permasalahan yang berbeda-beda. Karena itu penanganannya pun berbeda-beda. Satu anak, bisa ditangani hingga dua orang yaitu satu terapis dan dua pengajar. Farah mengatakan menjaga dan merawat anak-anak penderita autis, memang perlu pelayanan khusus.
"Anak-anak yang datang pada kami dari berbagai latar belakang, tak hanya dari menengah atas. Tetapi ada juga dari menengah bawah," jelas Farah.
Itu baru dari segi pendidikan, belum dari sisi makanan. Farah memaparkan, pihaknya harus menjaga setiap makanan yang masuk ke mulut anak autis. Karena, ternyata sangat berpengaruh. Anak autis tidak boleh makan makanan yang mengandung pengawet, pewarna dan perasa.
"Kalau di sekolah kami ada yang mengamuk atau menangis, biasanya kami akan tanya kepada orangtuanya, apa yang mereka makan di rumah. Biasanya, anak autis yang makan makanan berpengawet atau sejenisnya, pasti akan berpengaruh pada perilaku mereka," papar Farah.
Sementara itu, yang menjadi kendala lainnya tak semua sekolah mau menerima anak-anak autis. Sehingga mereka merasa dikucilkan. "Selama ini, kita baru bekerjasama dengan SDN 016 Cendana. Sekolah ini mau menerima anak-anak lulusan kami," katanya.
Menurut wanita yang mengenakan jilbab ini, yang terpenting tidak hanya pendidikan di sekolah tetapi di rumah. Karena, anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah.
"Dari 24 jam sehari, waktu maksimal terapi anak bersama guru di sekolah itu hanya 4 jam. Sementara 20 jam waktu anak bersama orangtua. Karena itu, orangtua dan guru harus satu kata, agar memudahkan komunikasi dengan anak," jelas Farah. (mici suningsih -www.sapos.co.id)
0 comments:
Post a Comment